A.
Pengertian Politik
Negara
Ilmu politik mempelajari suatu segi khusus dari
kehidupan masyarakat yang menyangkut soal kekuasaan. Tumpuan kajian ilmu
politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu proses sistem politik
(negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
melaksanakan tujuan-tujuan tersebut (Miriam Budiharjo, 1992). Sistem itu
menurut Deliar Noer (1983) meliputi sistem kekuasaan, wibawa, pengaruh,
kepentingan, nilai, keyakinan dan agama, pemilikan, status dan sistem ideologi.
Menurut Syarbani (2002:13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-upaya
memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaaan, dan
bagaimana menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan demikian dilihat dari aspek
kenegaraan, ilmu politik mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga negara,
serta hubungan kekuasaan baik sesama warga negara, hubungan negara dengan warga
negara, dan hubungan antar negara. Apabila dilihat dari aspek kekuasaan ilmu politik
mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat, hakikat, dasar, proses,
ruang lingkup, dan hasil dari kekuasaan itu. Dilihat dari aspek kelakuan, ilmu
politik mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang meliputi budaya
politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Melihat penjelasan di
atas, kajian ilmu politik meliputi: (1) teori ilmu politik, (2) lembaga-lembaga
politik (undang-undang dasar, pemerintahan nasional, pemerintahan daerah,
fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah dan perbandingan lembaga-lembaga
politik), (3) partai politik, dan (4) hubungan internasional.
Minimal ada enam hal
yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara, pemerintahan,
fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan obyek
ilmu politik meliputi dua hal yaitu, (1) material (obyek ini berwujud pada
perjuangan memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan obyek negara,
kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik, kegiatan politik, dan organisasi
masyarakat). dan (2) formal (pengetahuan, pusat perhatian). Dengan demikian,
Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1) sebagai
usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara
dan pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan, (4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum, dan (5) sebagai konflik dalam rangka mencari dan
mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.
Sementara itu, menurut Maran (1999) politik merupakan
studi khusus tentang cara-can manusia memecahkan
permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Dengan kata lain, politik
merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan
tujuan itu perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan
dan pembagian atau alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber dava vang ada.
Untuk itu diperlukan kekuatan {power) dan kewenangan {aiitliorlty).
yang dipakai baik untuk membina kerja sama rnaupun untuk menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses tersebut. Kekuasaan itu bisa dipakai secara
persuasif bisa juga secara koersif (paksaan) Definisi lebih sederhana tetapi
padat dapat dilihat dari pendapatnya Surbakti (1999) yang mengcitakan bahwa
konsep politik merupakan intcraksi antara pemerintah dan masyarakat dalam
rangka proses pcmbuatan dan pdaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan
bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertcntu.
Arti politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu
politik disimpulkan terdapat
tiga penjelasan. Pertama, rnengidentifikasikan
kategori-kategori aktivitas yang membentuk politik. Dalam hal ini Paul Conn
menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun suatu rumusan
yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik
dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga,
menyusun daftar pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui
daftar pertanyaan diharapkan dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat
mengenai politik (Surbakti, 1992). jadi politik akan terkait dengan kekuasaan,
negara dan pengaturan hidup bersama dalam upaya mencapai kebaikan
bermasyarakat.
Selain itu, dapat diketahui bahwa konsep-konsep pokok
yang dipelajari ilmu politik adalah negara {state), kekuasaan (power),
pengambilan kebijakan (decision making), kebijaksanaan (policy,
beleiri), dan pembagian (di’-tribution), atau alokasi (allocation).
Singkatnya, ilmu politik selain mempelajari tentang
interaksi antara pemerintah dan masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama, yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah
melalui perumusan dan Pelaksanaan kebijakan umum, juga membicarakan tentang
berbagai upaya perebutan mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Menurut Weber, sosiologi harus bebas nilai (value
free), tidak bias kepentingan atau keyakinan moral pribadi. Bias personal
harus dihindari selama melakukan riset ilmiah. Hal ini dimaksudkan untuk
menjamin objektivitas kebenaran sosiologi.
Dari konseptualisasi sosiologis yang disumbangkan oleh
para tokoh ilmu sosial, selanjutnya dijadikan pijakan dalam
merumuskan ruang lingkup
sosiologi politik. Dalam operasionalnva, cakupan materi
sosiologi politik terwujud dalam beberapa hal: (1) sosialisasi politik; (2)
partisipasi politik; (3) perekrutan politik; (4) komunikasi politik.
1. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah suatu proses agar
setiap individu atau kelompok dapat mengenali sistem politik dan menentukan
sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta reaksi-reaksinya terhadap
fenomena-fenomena politik.
Kerja sosialisasi politik meliputi pemeriksaan
mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik dan lingkungan sosial individu
maupun kelompok. Dengan demikian, sosialisasi politik merupakan landasan
sosiologi politik selain yang terpenting juga memegang peranan utama dan
pertama bagi setiap tindakan politik.
2. Partisipasi Folitik
Partisipasi politik ialah keterlibatan individu atau
kelompok pada level terendah sampai yang tertinggi dalam sistem politik. Hal
ini berarti bahwa partisipasi politik merupakan bentuk konkret kegiatan politik
yang dapat mengabsahkan seseorang berperan serta dalam sistem politik.
Dengan demikian, maka setiap individu atau kelompok
yang satu dengan yang lainnya akan memiliki perbedaan-perbedaan dalam
partisipasi politik; sebab partisipasi menyangkut peran konkrit politik di mana
seseorang akan berbeda perannya, strukturnya dan kehendak dari sistem politik
yang diikutinya.
3. Perekrutan Politik
Pengrekrutan politik adalah suatu proses yang
menempatkan seseorang dalam jabatan politik setelah vang bersangkutan diakui
kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik merupakan konsekuensi logis
dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan adanva suatu sistem politik
yang hidup dan berkembang.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat
ditempuh melalui dua jalan. Pertama, perekrutan yang bersifat formal
yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut secara terbuka
melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan
ketetapan-ketetapan itu disahkan
secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan
melalui seleksi atau melalui pemilihan. Kedua, perekrutan tidak formal
yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga seseorang itu
mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk diberi
posisi-posisi tertentu.
4. Komunikasi Politik
Komunikasi politik ialah suatu proses penyampaian
informasi politik pada setiap individu anggota sistem politik atau informasi
dari satu bagian sistem politik kepada bagian yang lainnya, dan informasi yang
saling diterima di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Informasi tersebut bersifat terus-menerus, bersifat
pertukaran baik antara individu, individu ke kelompok maupun kelompok ke
kelompok yang dampaknya dapat dirasakan oleh semua tingkatan masyarakat.
Informasi itu bisa dalam bentuk harapan, kritikan, reakasi-reaksi masyarakat
terhadap sistem politik dan pejabat politik. Atau suatu harapan, ajakan, janji
dan saran-saran pejabat politik kepada masyarakatnya yang berdampak terhadap
perubahan atau nwmperteguh tindakan-tindakan politiknya agar dilaksanakan stau
tidak dilaksanakan.
Landasan-landasan di atas merupakan proses-proses
politik yang mesti ada dan berjalan dalam suatu sistem politik dan
embaga-lembaga politik ketika akan, dan pasti, berurusan dengan
Sumber : Alfian, 1986, Masalah dan prospek Pembangunan
Politik Di Indonesia, Jakarta :
Gramedia.
B. Pengertian pengambilan keputusan
Para pakar memberikan
pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di
antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1)
ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin
dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian
keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah
suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan
tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan
masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Setelah dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses
pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.
Pengambilan keputusan sebagai
kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau
permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual
dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di
samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat futuristik,
artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang, dimana efek
atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi
tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan
yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah,
artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan
(2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat
ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu
masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau
lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan
dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan
keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan
keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di
luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau
mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R.
Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1)
intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar memberikan
pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di
antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1)
ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin
dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian
keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah
suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan
tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan
masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Setelah dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses
pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.
Pengambilan keputusan sebagai
kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau
permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual
dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di
samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat
futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang,
dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi
tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan
yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah,
artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan
(2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang
bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari
satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau
lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan
dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan
keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan
keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di
luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau
mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R.
Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1)
intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar memberikan
pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang pemikirannya.
Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di antara berbagai
alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1) ada pilihan
atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif yang harus
dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin dicapai dan
keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian keputusan yang
lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah suatu
pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan menjatuhkan
pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan
tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan
masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Setelah dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses
pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.
Pengambilan keputusan sebagai
kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau
permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual
dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di
samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat
futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang,
dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi tersebut,
maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan yang bersifat
tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi
apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah, artinya bahwa
sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan (2) tujuan
yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari satu masalah,
artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau lebih)
masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan
dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan
keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan
keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di
luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau
mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R.
Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1)
intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Para pakar memberikan
pengertian keputusan sesuai dengan sudut pandang dan latar belakang
pemikirannya. Menurut James A.F. Stoner, keputusan adalah pemilihan di
antara berbagai alternatif. Definisi ini mengandung tiga pengertian, yaitu: (1)
ada pilihan atas dasar logika atau pertimbangan; (2) ada beberapa alternatif
yang harus dipilih salah satu yang terbaik; dan (3) ada tujuan yang ingin
dicapai dan keputusan itu makin mendekatkan pada tujuan tersebut. Pengertian
keputusan yang lain dikemukakan oleh Prajudi Atmosudirjo bahwa keputusan adalah
suatu pengakhiran daripada proses pemikiran tentang suatu masalah dengan
menjatuhkan pilihan pada suatu alternatif.
Dari pengertian keputusan
tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa keputusan merupakan suatu pemecahan
masalah sebagai suatu hukum situasi yang dilakukan melalui pemilihan satu
alternatif dari beberapa alternatif.
Setelah dipahami pengertian keputusan,
selanjutnya dikutipkan pendapat para pakar mengenai pengertian pembuatan atau –
yang sering digunakan – pengambilan keputusan. Menurut George R. Terry
pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan) tertentu
dari dua atau lebih alternatif yang ada. Kemudian, menurut Sondang P. Siagian
pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap hakikat
alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut perhitungan
merupakan tindakan yang paling cepat. Selanjutnya, menurut James A. F. Stoner
pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih suatu tindakan
sebagai cara pemecahan masalah.
Berdasarkan pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan suatu proses
pemilihan alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah.
Pengambilan keputusan sebagai
kelanjutan dari cara pemecahan masalah memiliki fungsi sebagai pangkal atau
permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah secara individual
dan secara kelompok baik secara institusional maupun secara organisasional. Di
samping itu, fungsi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang bersifat
futuristik, artinya bersangkut paut dengan hari depan, masa yang akan datang,
dimana efek atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.
Terkait dengan fungsi
tersebut, maka tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan: (1) tujuan
yang bersifat tunggal. Tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal
terjadi apabila keputusan yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah,
artinya bahwa sekali diputuskan, tidak ada kaitannya dengan masalah lain dan
(2) tujuan yang bersifat ganda. Tujuan pengambilan keputusan yang
bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan menyangkut lebih dari
satu masalah, artinya keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua (atau
lebih) masalah yang bersifat kontradiktif atau yang bersifat tidak
kontradiktif.
Agar pengambilan keputusan
dapat lebih terarah, maka perlu diketahui unsur atau komponen pengambilan
keputusan. Unsur pengambilan keputusan itu adalah: (1) tujuan dari pengambilan
keputusan; (2) identifikasi alternatif keputusan yang memecahkan masalah; (3)
perhitungan tentang faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya atau di
luar jangkauan manusia; dan (4) sarana dan perlengkapan untuk mengevaluasi atau
mengukur hasil dari suatu pengambilan keputusan.
Sementara itu, George R.
Terry menyebutkan 5 dasar (basis) dalam pengambilan keputusan, yaitu: (1)
intuisi; (2) pengalaman; (3) fakta; (4) wewenang; dan (5) rasional.
Sumber : Direktorat
Tenaga Kependidikan. Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Departemen
Pendidikan Nasional. 2000. Perubahan dan Pengembangan Sekolah Menengah
sebagai Organisasi Belajar yang Efektif; Materi Diklat Pembinaan
Kompetensi Calon Kepala Sekolah/Kepala Sekolah
C. Kebijakan
Umum
Secara harifah ilmu kebijakan adalah terjemahan
langsung dari kata policy science (Dror, 1968: 6-8 ). Beberapa penulis besar
dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan
lain-lain, menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam
pengertian yang tidak berbeda. Istilah kebijaksanaan atau kebijakan yang
diterjemahkan dari kata policy memang biasanya dikaitkan dengan keputusan
pemerintah, karena pemerintahlah yang mempunyai wewenang atau kekuasaan untuk
mengarahkan masyarakat, dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Ini
sejalan dengan pengertian public itu sendiri dalam bahasa Indonesia yang berarti
pemerintah, masyarakat atau umum.
Dengan demikian perbedaan makna antara perkataan
kebijaksanaan dan kebijakan tidak menjadi persoalan, selama kedua istilah itu
diartikan sebagai keputusan pemerintah yang relatif bersifat umum dan ditujukan
kepada masyarakat umum. Perbedaan kata kebijakan dengan kebijaksanaan berasal
dari keinginan untuk membedakan istilah policy sebgai keputusan pemerintah yang
bersifat umum dan berlaku untuk seluruh anggota masyarakat, dengan istilah
discretion, yang dapat diartikan “ilah” atau keputusan yang bersifat kasuistis
untuk sesuatu hal pada suatu waktu tertentu. Keputusan yang bersifat kausitis
(hubungan sebab akibat) sering terjadi dalam pergaulan. Seseorang minta
“kebijaksanaan” seorang pejabat untuk memperlakukan secara “istimewa” atau
secara “istimewa” tidak memperlakukan, ketentuan-ketentuan yang ada, yang
biasanya justru ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah (public policy).
Kata policy secara etimologis berasal dari kata
polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Dalam bahasa latin
kata ini menjadi politia, artinya negara. Masuk kedalam bahasa Inggris lama
(Middle English), kata tersebut menjadi policie, yang pengertiannya berkaitan
dengan urusan perintah atau administrasi pemerintah (Dunn,1981:7). Dalam
pengertian umum kata ini seterusnya diartikan sebagai,”…a course of action
intended to accomplish some end” (Jones,1977:4) atau sebagai “…whatever
government chooses to do or not to do” (Dye,1975:1). Uniknya dalam bahasa
Indonesia, kata “kebijaksanaan” atau “kebijakan” yang diterjemahkan dari kata
policy tersebut mempunyai konotasi tersendiri. Kata tersebut mempunyai akar
kata bijaksana atau bijak yang dapat disamakan dengan pengertian wisdom, yang
berasal dari kata sifat wise dalam bahasa Inggris. Dengan pengertian ini sifat
bijak sana dibedakan orang dari sekedar pintar (clever) atau cerdas (smart).
Pintar bisa berarti ahli dalam satu bidang ilmu, sementara cerdas biasanya
diartikan sebagai sifat seseorang yang dapat berpikir cepat atau dapat menemukan
jawaban bagi suatu persoalan yang dihadapi secara cepat. Orang yang bijaksana
mungkin tidak pakar dalam sesuatu bidang ilmu, namun memahami hampir semua
aspek kehidupan (Buchari Zainun dan Said Zainal Abidin, 1988:7-10). Kalau orang
yang cerdas dapat segera memberi jawaban yang tepat atas sesuatu pertanyaan,
maka orang yang bijaksana mungkin pada waktu yang sama tidak mau memberikan
jawaban, karena yang demikian itu mungkin dianggapnya lebih bijaksana. Jawaban
yang bijaksana bukan sekedar dapat menjawab, tetapi juga menjawab dengan tepat
waktu,tepat lingkungan dan tepat sasaran. Konotasi ini agaknya sangat relevan
dengan kajian ilmu kebijakan, dan jawaban yang demikian itulah yang menjadi
obyek studi dari ilmu ini.
Kajian tentang kebijakan dalam arti yang luas
sebagai usaha pengadaan informasi yang diperlukan untuk menunjang proses
pengambilan kebijakan telah ada sejak manusia mengenal organisasi dan tahu arti
keputusan. Kajian ini dilakukan mulai dari cara yang paling sederhana dan
irasional sampai dengan cara-cara yang bersifat kombinasi kuantitatif dan
kualitatif sekarang ini. Akan tetapi sebgai suatu disiplin tersendiri ilmu
kebijakan baru diakui kehadirannya sesudah Perang Dunia II.
Kajian-kajian yang dilakukan di masa lampau
biasanya merupakan suatu kajian dari satu disiplin ilmu untuk memecahkan suatu
permasalahan yang dianggap termasuk dalam aspek tertentu yang relevan dengan
disiplin ilmu itu. Kajian yang demikian mulai sulit memecahkan
persoalan-persoalan yang kompleks dalam masyarakat modern sekarang ini.
Dalam masyarakat modern di area globalisasi
sekarang ini, sebagai akibat dari kemajuan teknologi di bidang informasi dan
transportasi, permasalahan publik menjadi sangat kompleks. Tidak ada satu
masalah yang hanya bisa dilihat sebagai ”satu” aspek yang berdiri sendiri.
Berbagai aspek saling terkait dan saling mempengaruhi. Keterkaitan ini tidak
terbatas dalam lingkungan tertentu saja, tetapi bisa jadi dipengaruhi dan
mempengaruhi lingkungan yang lebih luas dan menyangkut aspek yang berbeda,
berlangsung dalam waktu yang amat cepat. Perubahan dalam bidang politik di
Amerika Serikat pada hari ini, misalnya, segera akan berpengaruh dalam bidang
ekonomi,sosial-budaya, pertahananan dan sebagainya, di negara-negara ASEAN pada
hari yang sama.
Sebab itu kajian dari satu disiplin ilmu saja
menjadi tidak realistis, karena jawaban yang dihasilkan terbatas dalam kerangka
teoritis tertentu, tidak sesuai dengan masyarakat modern yang kompleks dan
berkembang secara cepat. Khusus untuk negara-negara yang sedang berkembang
telah dilakukan pula kajian yang bersifat penerapan dari disiplin ilmu-ilmu
yang telah ada. Dalam ilmu administrasi untuk menata pengelolaan pembangunan
dan pembangunan administrasi dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang
dalam lingkungan yang berbeda dari lingkungan tempat teori-teori administrasi
itu dahulu tumbuh. Hal yang serupa juga terjadi dalam disiplin ilmu ekonomi
yang menumbuhkan kajian ekonomi pembangunan yang berorientasi pada
negara-negara yang sedang berkembang. Begitu pula dalam disiplin ilmu politik,
sosiologi dan lain-lain.
Dalam masyarakat dewasa ini sering timbul keluhan
bahwa hasil suatu analisis yang dilakukan dalam suatu bidang, sulit diterapkan.
Kesulitan dalam penerapan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa masyarakat
merupakan kancah pertautan berbagai aspek yang bersifat multidimensi. Dalam
masyarakat, berbagai aspek saling mempengaruhi. Karena itu diperlukan analisis
yang bersifat multidimensi pula. Untuk menjawab tantangan dari kesulitan
penerapan inilah maka William Dunn menanamkan ilmu analisis kebijakan applied
social science, karena ilmu ini menggunakan pendekatan yang bersifat menyeluruh
(holistic approach).
Pengertian Kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk
menjelaskan arti kebujakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government
chooses to do or not to do). Definisi ini dibuatnya dengan menghubungkan pada
beberapa definisi lain dari David Easton, Lasswell dan Kaplan, dan Carl
Friedrich. Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai “kekuasaan
mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan.” Ini mengandung
konotasi tentang kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan
masyarakat. Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup
seluruh masyarakat kecuali pemerintah. Sementara Lasswell dan Kaplan yang
melihat kebijakan sebagai sarana untuk mencapai tujuan, menyebutkan kebijakan
sebagai program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek
(a projected program of goals, values and practices). Carl Friedrich mengatakan
bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal ),
sasaran(objektive) atau kehendak(purpose).
H. Hugh Heglo menyebutkan kebijakan sebagai “a
course of action intended to accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan
yang bermaksud untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi Heglo ini selanjutnya
diuraikan oleh Jones dalam kaitan dengan beberapa isi dari kebijakan. Pertama,
tujuan. Di sini yang dimaksudkan adalah tujuan tertentu yang dikehendaki untuk
dicapai (the desired ends to be achieved). Bukan suatu tujuan yang sekedar
diinginkan saja. Dalam kehidupan sehari-hari tujuan yang hanya diinginkan saja
bukan tujuan, tetapi sekedar keinginan. Setiap orang boleh saja berkeinginan
apa saja, tetapi dalam kehidupan bernegara tidak perlu diperhitungkan. Baru
diperhitungkan kalau ada usaha untuk mencapainya, dan ada”faktor pendukung”
yang diperlukan. Kedua, rencana atau proposal yang merupakan alat atau cara
tertentu untuk mencapainya. Ketiga, program atau cara tertentu yang telah
mendapat persetujuan dan pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
Keempat, keputusan, yakni tindakan tertentu yang diambil untuk menentukan
tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan dan mengevaluasi program
dalam masyarakat.
Selanjutnya Heglo mengatakan bahwa kebijakan lebih
dapat digolongkan sebagai suatu alat analisis daripada sebagai suatu rumusan
kata-kata. Sebab itu, katanya, isi dari suatu kebijakan lebih dapat dipahami
oleh para analis daripada oleh para perumus dan pelaksana kebijakan itu
sendiri.
Bertolak dari sini, Jones merumuskan kebijakan
sebagai “…behavioral consistency and repeatitiveness associated with efforts in
and through government to resolve public problems” (perilaku yang tetap dan
berulang dalam hubungan dengan usaha yang ada di dalam dan melalui pemerintah
untuk memecahkan masalah umum). Definisi ini memberi makna bahwa kebijakan itu
bersifat dinamis – ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian lain, dalam
hubungan dengan sifat dari kebijakan.
Sejalan dengan perkembangan studi yang makin maju,
William Dunn mengaitkan pengertian kebijakan dengan analisis kebijakan yang
merupakan sisi baru dari perkembangan ilmu sosial untuk pengamalannya dalam
kehidupan sehari-hari. Sebab itu dia mendefinisikan analisis kebijakan
sebagai”ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan
dan mentransformasikan informasi yang relevan yang dipakai dalam
memecahpersoalan dalam kehidupan sehari-hari. “Di sini dia melihat ilmu
kebijakan sebgai perkembangan lebih lanjut dari ilmu-ilmu sosial yang sudah
ada. Metodologi yang dipakai bersifat multidisiplin. Hal ini berhubungan dengan
kondisi masyarakat yang bersifat kompleks dan tidak memungkinkan pemisahan satu
aspek dengan aspek lain.
Sumber
: Kebijakan Publik karangan Said Zainal Abidin,
Edisi Revisi, tahun 2004, Penerbit: Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
D. Distribusi
Kekuasaan
Dalam sebuah ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi
pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter,
sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada
ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan.
a. Pengertian Pembagian Kekuasaan
Pembagian kekuasaan terdiri dari dua kata, yaitu “pembagian” dan “kekuasaan”.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) pembagian memiliki pengertian
proses menceraikan menjadi beberapa bagian atau memecahkan (sesuatu) lalu
memberikannya kepada pihak lain. Sedangkan kekuasaan adalah wewenang atas
sesuatu atau untuk menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu.
Sehingga secara harfiah pembagian kekuasaan adalah proses menceraikan wewenang
yang dimiliki oleh Negara untuk (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) menjadi
beberapa bagian (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) untuk diberikan kepada
beberapa lembaga Negara untuk menghindari pemusatan kekuasaan (wewenang) pada
satu pihak/ lembaga.
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim memaknai pembagian kekuasaan berarti bahwa
kekuasaan itu memang dibagi-bagi dalam beberapa bagian (legislatif, eksekutif
dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
diantara bagian-bagian itu dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama (Kusnardi
dan Harmaily Ibrahim, 1988: 140). Berbeda dengan pendapat dari Jimly
Asshiddiqie yang mengatakan kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara
memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat checks dan
balances dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta
mengendalikan satu sama lain, namun keduanya ada kesamaan, yaitu memungkinkan
adanya koordinasi atau kerjasama. Selain itu pembagian kekuasaan baik dalam
arti pembagian atau pemisahan yang diungkapkan dari keduanya juga mempunyai
tujuan yang sama yaitu untuk membatasi kekuasaan sehingga tidak terjadi
pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang memungkinkan terjadinya
kesewanang-wenangan.
Pada hakekatnya pembagian kekuasaan dapat dibagi ke dalam dua cara, yaitu (Zul
Afdi Ardian, 1994: 62):
1. Secara vertikal, yaitu pembagian kekuasaan menurut tingkatnya. Maksudnya
pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan, misalnya antara
pemerintah pusat dengan dan pemerintah daerah dalam negara kesatuan, atau
antara pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam suatu suatu negara
federal.
2. Secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan menurut fungsinya. Dalam
pembagian ini lebih menitikberatkan pada pembedaan antara fungsi pemerintahan
yang bersifat legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b. Pembagian Kekuasaan Menurut John Locke
John Locke, dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan
agar kekuasaan di dalam negara itu dibagi dalam organ-organ negara yang
mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Menurut beliau agar pemerintah tidak
sewenang-wenang, maka harus ada pembedaan pemegang kekuasaan-kekuasaan ke dalam
tiga macam kekuasaan,yaitu:
1. Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang)
2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang)
3. Kekuasaaan Federatif (melakukan hubungan diplomtik dengan negara-negara
lain).
Pendapat John Locke inilah yang mendasari muncul teori pembagian kekuasaan
sebagai gagasan awal untuk menghindari adanya pemusatan kekuasaan (absolut)
dalam suatu negara.
c. Konsep Trias Politica Montesquieu
Menurut Montesquieu seorang pemikir berkebangsaan Perancis mengemukakan
teorinya yang disebut trias politica. Dalam bukunya yang berjudul “L’esprit des
Lois” pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari pendapat
John Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan
pemisahan kekuasaan negara ke dalam 3 organ, yaitu:
a) Kekuasaan Legislatif (membuat undang-undang).
b) Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
c) Kekuasaaan yudikatif (mengadili bila terjadi pelanggaran atas
undang-undang).
Konsep yang dikemukakan oleh John Locke dengan konsep yang dikemukakan oleh
Montesquieu pada dasarnya memiliki perbedaan, yaitu:
a) Menurut John Locke kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan yang mencakup
kekuasaan yuikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang,
sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang
berdiri sendiri.
b) Menurut Montesquieu kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan ferderatif karena
melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif, sedangkan
kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah
dari eksekutif.
c) Pada kenyataannya ternyata, sejarah menunjukkan bahwa cara pembagian
kekuasaan yang dikemukakan Montesquieu yang lebih diterima. Kekuasaan
ferderatif diberbagai negara sekarang ini dilakukan oleh eksekutif melalui
Departemen Luar Negerinya masing-masing (Moh. Mahfud MD, 2001: 73). Seperti
halnya dalam praktek ketatanegaraan Indonesia selama ini.
Mengenai pembagian kekuasaan seperti yang dikemukakan Montesquieu, yang membagi
kekuasaan itu menjadi tiga kekuasaan, yaitu: legislatif, eksekutif, dan
yudikatif, Jimly Asshiddiqie menjelaskan lagi mengenai cabang-cabang dari
kekuasaan-kekuasaan itu. Cabang kekuasaan legislatif terdiri dari:
a. Fungsi Pengaturan (Legislasi).
b. Fungsi Pengawasan (Control).
c. Fungsi Perwakilan (Representasi).
Kekuasaan Eksekutif juga mempunyai cabang kekuasaan yang meliputi :
a. Sistem Pemerintahan.
b. Kementerian Negara.
Begitu juga dengan kekuasaan Yudikatif mempunyai cabang kekuasaan sebagai
berikut :
a. Kedudukan Kekuasaan Kehakiman.
b. Prinsip Pokok Kehakiman.
c. Struktur Organisasi Kehakiman.
Jadi menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan itu masing-masing mempunyai cabang
kekuasaan sebagai bagian dari kekuasaan yang dipegang oleh lembaga negara dalam
penyelenggaraan negara.
d. Pembagian Kekuasaan di Indonesia
Dalam ketatanegaraan Indonesia sendiri, istilah “pemisahan kekuasaan”
(separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan pendapat
Montesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan tersebut dibedakan
secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang
dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide pemisahan
kekuasaan ala trias politica Monstesquieu. Dalam sidang-sidang BPUPKI 1945,
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin trias
politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan, melainkan menganut sistem
pembagian kekuasaan.
Di sisi lain Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa setelah adanya perubahan UUD
1945 selama empat kali, dapat dikatakan sistem konstitusi kita telah menganut
doktrin pemisahan itu secara nyata. Beberapa yang mendukung hal itu antara lain
adalah :
1. adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR.
2. diadopsinya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai
produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi. Dimana sebelumnya undang-undang
tidak dapat diganggu gugat, hakim hanya dapat menerapkan undang-undang dan
tidak boleh menilai undang-undang.
3. diakui bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu tidak hanya MPR,
melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung
merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.
4. MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara, namun sebagai
lembaga negara yang sederajat dengan lembaga negara lainnya.
5. hubungan-hubungan antar lembaga negara itu bersifat saling mengendalikan
satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.
Jadi berdasarkan kelima alasan tersebut, maka UUD 1945 tidak lagi dapat
dikatakan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal maupun
menganut ajaran trias politica Montesquieu yang memisahkan cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif secara mutlak dan tanpa diiringi
oleh hubungan yang saling mengendalikan satu sama lain. Dengan perkataan lain,
sistem baru yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat adalah sistem
pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances, sehingga masih ada
koordinasi antar lembaga negara.
e. latar Belakang Checks and Balances di Indonesia
Penyelenggaraan kedaulatan rakyat sebelum perubahan UUD 1945 melalui sistem MPR
dengan prinsip terwakili telah menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang
demikian besar dalam segala hal termasuk pembentukan MPR. Periode orde lama
(1959-1965), seluruh anggota MPR(S) dipilih dan diangkat langsung oleh
Presiden. Tidak jauh berbeda pula pada masa orde baru (1966-1998) dari 1000
orang jumlah anggota MPR, 600 orang dipilih dan ditentukan oleh Presiden. Hal
tersbut menunjukan bahwa pada masa-masa itu MPR seakan-akan hanya menjadi alat
untuk mempertahankan penguasa pemerintahan (presiden), yang mana pada masa itu
kewenangan untuk memilih dan mengangkat Presiden dan/ atau Wakil Presiden
berada di tangan MPR. Padahal MPR itu sendiri dipilih dan diangkat oleh Presiden
sendiri, sehingga siapa yang menguasai suara di MPR maka akan dapat
mempertahankan kekuasaannya.
Pengangkatan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dan unsur Utusan Golongan
bagi pembentukan MPR dalam jumlah yang demikian besar juga dapat dilihat sebagai
penyimpangan konstitusional, karena secara logika dalam hal kenyataan juga
terlihat wakil yang diangkat akan patuh dan loyal kepada pihak yang
mengangkatnya, sehingga wakil tersebut tidak lagi mengemban kepentingan daerah
atau golongan yang diwakilinya. Akibatnya adalah wakil-wakil yang diangkat itu
tidak lagi memiliki hubungan dengan yang diwakilinya. Namun terkait dengan hal
itu, Presiden sendiri merupakan mandataris MPR yang harus bertanggung jawab
kepadanya. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan antara MPR dengan Presiden
sangat sulit dilihat sebagai hubungan vertikal atau horizontal, jika terlepas
dari MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan Presiden sebagai Lembaga Negara
yang jelas mempunyai hubungan vertikal. Maka idealnya seluruh anggota MPR itu
diplih rakyat melalui Pemilu.
Dan di sisi lain sesuai dengan ketentuan UUD 1945, keberadaan MPR sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, dianggap sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan
rakayat. Konstruksi ini menunjukkan bahwa MPR merupakan Majelis yang mewakili
kedudukan rakyat sehingga menjadikan lembaga tersebut sebagai sentral
kekuasaan, yang mengatasi cabang-cabang kekuasaan lainnya. Adanya satu lembaga
yang berkedudukan paling tinggi membawa konsekuensi seluruh kekuasaan
lembaga-lembaga penyelenggara negara yang berada di bawahnya harus bertanggung
jawab kepada MPR. Akibatnya konsep keseimbangan antara elemen-elemen
penyelenggara negara atau sering disebut checks and balances system antar
lembaga tinggi negara tidak dapat dijalankan.
Pada sistem MPR tersebut, juga menimbulkan kekuasaan bagi presiden yang
demikian besar dalam pembentukan undang-undang (fungsi Legislasi) yang
seharusnya dipegang DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan pasal 5 ayat
(1) naskah asli UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan rumusan
tersebut, dapat dilihat bahwa MPR mendistribusikan kekuasaan membentuk
undang-undang kepada Presiden, atau setidaknya memberikan kewenangan yang lebih
kepada Presiden dalam fungsi legislasi dari pada DPR. Karena keadaan yang
demikian sehingga pengawasan dan keseimbangan antar lembaga tinggi negara
sangat lemah sekali.
Orde reformasi yang dimulai pada bulan Mei 1998, yang terjadi karena berbagai
krisis, baik krisis ekonomi, politik maupun moral. Gerakan reformasi itu
membawa berbagai tuntutan, diantaranya adalah Amandemen UUD 1945, penghapusan
doktrin dwi fungsi ABRI, penegakan hukum, HAM, dan pemberantasan KKN, serta
mewujudkan kehidupan yang demokratis. Tuntutan itu muncul karena masyarakat
menginginkan perubahan dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia untuk
memuwujdkan pemerintahan negara yang demokratis dengan menjamin hak asasi warga
negaranya.
Hasil nyata dari reformasi adalah dengan adanya perubahan UUD 1945 yang dilatar
belakagi dengan adanya beberapa alasan, yaitu:
a. Kekuasaan tertinggi di tangan MPR.
b. Kekuasaan yang sangat besar pada Presiden.
c. Pasal-pasal yang sifatnya terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan multi
tafsir.
d. Kewenangan pada Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan
undang-undang.
e. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara belum cukup
didukung ketentuan konstitusi.
Hal-hal tersebut merupakan penyebab mengapa keseimbangan dan pengawasan
terhadap lembaga penyelenggara negara dianggap sangat kurang (checks and
balances system) tidak dapat berjalan sehingga harus dilakukan Perubahan UUD
1945 untuk mengatasi hal tersebut.
Perubahan UUD 1945 yang
terjadi selama empat kali yang berlangsung secara berturutan pada tahun 1999,
2000, 2001 dan 2002 telah membawa dampak yang besar terhadap stuktur
ketatanegaraan dan sistem penyelenggaraan negara yang sangat besar dan
mendasar. Perubahan itu diantara adalah menempatkan MPR sebagai lembaga negara
yang mempunyai kedudukan yang sederajat dengan Lembaga Negara lainnya tidak
lagi sebagai Lembaga Tertinggi Negara, pergeseran kewenangan membentuk
undang-undang dari Presiden kepada DPR, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung, mempetegas penerapan sistem presidensiil, pengaturan HAM,
munculnya beberapa lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi
Yudisial, dan lain sebagainya.
Terkait dengan perubahan kedudukan MPR setelah adanya Perubahan UUD 1945 Abdy
Yuhana menjelaskan bahwa berdasarkan rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2)
UUD Negara RI Tahun 1945 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” yang merupakan perubahan terhadap
ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 sebelumnya yang berbunyi “Kedaulatan adalah
di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Dari hasil perubahan tersebut dapat dilihat bahwa konsep kedaulatan rakyat
dilakukan oleh suatu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu MPR yang dianggap sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sekarang melalui ketentuan tersebut telah
dikembalikan kepada kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri. Konsekuensi dari
ketentuan baru itu adalah hilangnya Lembaga Tertinggi Negara MPR yang selama
ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Hal ini merupakan
suatu perubahan yang bersifat fundamental dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, dengan begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan
prinsip keseimbangan antar lembaga negara (checks and balances). Rumusan
tersebut juga memang sengaja dibuat sedemikian rupa untuk membuka kemungkinan
diselenggarakannya pemilihan presiden secara langsung, agar sesuai dengan
kehendak untuk menerapkan sistem pemerintahan presidensial (Abdy Yuhana, 2007:
139).
Ni’matul Huda juga berpendapat bahwa dengan adanya pergeseran kewenangan
membentuk undang-undang itu, maka sesungguhnya ditinggalkan pula teori
“pembagian kekuasaan” (distribution of power) dengan prinsip supremasi MPR
menjadi “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) dengan prinsip checks and
balances sebagai ciri melekatnya. Hal ini juga merupakan penjabaran lebih jauh
dari kesepakatan untuk memperkuat sistem presidensial (Ni’matul Huda, 2003:
19). Dari dua pendapat tersebut maka dapat simpulkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil perubahan
telah menganut teori “pemisahan kekuasaan” (seperation of power) untuk menjamin
prinsip checks and balances demi tercapainya pemerintahan yang demokratis yang
merupakan tuntutan dan cita-cita reformasi.
sumber :
GOOGLE.COM/ARTIKEL OLEH ANTON PRATONO
E. Kekuasaan
Negara
Kekuasaan negara dalah kewenangan yang
didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut
sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan
melebihi kewenangan yang diperoleh[1] [2] atau kemampuan seseorang atau
kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan
kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan
kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).
Dalam pembicaraan umum,
kekuasaan dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat
negara. Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan
tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan untuk
mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan memberi
perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat dan cara
yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg memerintah dan ada
yg diperintah. Manusia berlaku sebagau subjek sekaligus objek dari kekuasaan.
Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari kekuasaan) tetapi juga harus
tunduk pada UU (objek dari kekuasaan).
Kekuasaan bersifat
positif
merupakan Kemampuan yang
dianugerahkan oleh Tuhan kepada individu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
yang dapat memengaruhi dan mengubah pemikiran orang lain atau kelompok untuk
melakukan suatu tindakan yang diinginkan oleh pemegang kekuasaan dengan
sungguh-sungguh dan atau bukan karena paksaan baik secara fisik maupun mental.
Kekuasaan bersifat Negatif
Merupakan sifat atau watak
dari seseorang yang bernuansa arogan, egois, serta apatis dalam memengaruhi
orang lain atau kelompok untuk melakukan tindakan yang diinginkan oleh pemegang
kuasa dengan cara paksaan atau tekanan baik secara fisik maupun mental.
Biasanya pemegang kekuasaan yang bersifat negatif ini tidak memiliki kecerdasan
intelektual dan emosional yang baik,mereka hanya berfikir pendek dalam
mengambil keputusan tanpa melakukan pemikiran yang tajam dalam mengambil suatu
tindakan, bahkan mereka sendiri kadang-kadang tidak dapat menjalankan segala
perintah yang mereka perintahkan kepada orang atau kelompok yang berada di bawah
kekuasannya karena keterbatasan daya pikir tadi. dan biasanya kekuasaan dengan
karakter negatif tersebut hanya mencari keuntungan pribadi atau golongan di
atas kekuasannya itu. karena mereka tidak memiliki kemampuan atau modal apapun
selain kekuasaan untuk menghasilkan apapun, dan para pemegang kekuasaan
bersifat negatif tersbut biasanya tidak akan berlangsung lama karena tidak akan
mendapatkan dukungan sepenuhnya oleh rakyatnya.
Di negara demokrasi,
dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain
melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik.
Partai partai politik berusaha untuk merebut konstituen dalam masa pemilu. Partai politik selanjutnya
mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif.
Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam
Pemilu 2004
maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
Legitimasi kekuasaan
Dalam pemerintahan mempunya
makna yang berbeda: "kekuasaan" didefinisikan sebagai "kemampuan
untuk memengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bila tidak
dilakukan", akan tetapi "kewenangan" ini akan mengacu pada klaim
legitimasi, pembenaran dan hak untuk melakukan kekuasaan. Sebagai contoh
masyarakat boleh jadi memiliki kekuatan untuk menghukum para kriminal dengan
hukuman mati tanpa sebuah peradilan sedangkan orang-orang yang beradab percaya
pada aturan hukum dan perundangan-undangan dan menganggap bahwa hanya dalam suatu
pengadilan yang menurut ketenttuan hukum yang dapat memiliki kewenangan
untuk memerintahkan sebuah hukuman mati.
Dalam perkembangan ilmu-ilmu
sosial, kekuasaan telah dijadikan subjek penelitian dalam berbagai empiris
pengaturan, keluarga (kewenangan orangtua), kelompok-kelompok kecil (kewenangan
kepemimpinan informal), dalam organisasi seperti sekolah, tentara, industri dan
birokrat (birokrasi dalam organisasi pemerintah) dan masyarakat luas atau
organisasi inklusif, mulai dari masyarakat yang paling primitif sampai dengan
negara, bangsa-bangsa modern atau organisasi (kewenangan politik).
Sifat kekuasaan
Kekuasaan
cenderung korup adalah
ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to corrupct. Kekuasaan
dapat dikatakan melekat pada jabatan ataupun pada diri orang tersebut,
penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Position Power, kekuasaan yang melekat
pada posisi seseorang dalam sebuah organisasi. 2. Personal Power, kekuasaan
yang berada pada pribadi orang tersebut sebagai hubungan sosialnya.
French & Raven mengatakan
bahwa ada lima jenis kekuasaan: 1. Kekuasaan memberi penghargaan. 2. Kekuasaan
yang memaksa 3. Kekuasaan yang sah. 4. Kekuasaan memberi referensi. 5.
Kekuasaan ahli Sumber kekuasaan bila dikaitkan dg kegunaan, maka sbb: 1.Militer
& àPolisi utk
mengendalikanàutk mengendalikan kekerasan dan kriminal 2.Ekonomi tanah, buruh, kekayaan & utk pengambilanàproduksi 3.Politik utk mempertahankan, mengubah,àkeputusan
4.Hukum & melancarkan utk mempertahankan sistem kepercayaan /àinteraksi
5.Tradisi nilai-nilai
Sumber – sumber kekuasaan
meliputi: 6.Sarana Paksaan Fisik. 5. Keahlian 7.Hukum normatif 6. Status sosial
8.Harta kekayaan 7. Popularitas 9.Jabatan 8. Massa yg terorganisir
Sumber :